Halaman

Rabu, 27 Juni 2012

HANTA U’A PUA (SIRIH PUAN) : SEBUAH HISTORY LOCAL WISDOM BIMA

Posisi daerah bima yang terletak di ujung timur pulau Sumbawa, dalam sejarah menjadi jalur maritim yang melintasi kepulauan Nusantara sehingga menjadi tempat persinggahan penting dalam jaringan perdagangan dari malaka ke maluku. Perahu-perahu yang tiba di Batavia dan Ambon membawa barang dagangan yang diperoleh di Bima yaitu Beras, Kayu Sapang, Bahan Lilin, Kayu Cendana, Asam, Belerang, Kayu Manis, Kain Tenunan, Kuda, Kerbau,Bawang, Kacang Hijau, dan Biji Ganatri. Karena letaknya ini, Bima menjadi salah satu daerah obyek penyebaran agama dan secara budaya, budaya Bima tidak independen dari pengaruh dan kondisi sosial-budaya dari luar (baca: Melayu). Untuk itu, sejarah sosial-budaya Bima menjadi bagian dari dunia kebudayaan Melayu. Salah satu budaya Bima yang menjadi sejarah penyebaran agama di wilayah Bima adalah Hanta U’a Pua (Sirih Puan) yang mulai ada sejak masa pemerintahan Sultan Bima yang kedua, Abil Khair Sirajuddin (1640-1882).

BUDAYA BELAJAR DALAM PENDIDIKAN KITA

Manusia hidup untuk belajar
Bukan belajar untuk hidup
(Jakob Sumaharjo)

Pandangan Jakob Sumaharjo tersebut sudah terlupakan terutama dalam pendidikan formal yang dilaksanakan oleh sekolah-sekolah di Indonesia. Pendidikan Indonesia lebih menitik beratkan pada penguasaan kompetensi, dimana kompetensi yang dimaksud selalu mengacu pada kebutuhan dunia industri. Dengan kata lain, bahwa peserta didik dituntut belajar karena tuntutan kebutuhan lapangan kerja, materi-materi yang diberikan sesuai dengan harapan industri. Kualitas output sangat dipengaruhi tercovernya seseorang di sebuah perusahaan atau instansi. Aktifitas belajar hanya mengarahkan Peserta didik belajar pada saat mereka menjalani aktivitas sekolah formal dengan harapan mendapat nilai