Halaman

Minggu, 08 Juli 2012

MAIA ROSYIDA : SEKOLAHKU BUKAN SEKOLAH

Oleh Ikhsan Dorompuri

Mendengar kata sekolah, orang langsung berpandangan penuh dengan kurikulum, guru, ruangan sebagai tempat belajar, jadwal pelajaran, tugas harian, peraturan-peraturan, dan bahkan ujian-ujian, mulai dari ujian masuk sekolah, ulangan harian, ujian mid semester, ujian semester sampai dengan ujian nasional yang memakan banyak korban dari depresi sampai bunuh diri. Sekolah itu cuma mau nampung beban dan pikiran, memberatkan, kayak nggak ada tujuan yang jelas1. Perasaan ini pernah kita rasakan pada saat kita sekolah, malahan kita sering mengumpat guru-guru kita karena kita jengkel sama me
reka atau yang ekstremnya sangat bosan terhadap mereka. Setiap hari kita disuguhi dengan materi-materi yang tidak kita pahami dan tidak tahu apa manfaatnya. Belum lagi kita disuruh menghafal itu semua dan akan diadili, yang dimana guru sebagai hakimnya, siswa sebagai terdakwa yang harus mempertanggungjawabkan atas hafalannya itu. Ujian-ujian yang dilaksanakan di sekolahpun hanyalah sebuah pertanggungjawaban kita terhadap hafalan kita terhadap kurikulum itu. Hafalan-hafalan itu akan tercatat dalam bentuk nilai-nilai di raport ataupun ijazah. Yang akhirnya siswa-siswa akan diranking berdasarkan kemampuan hafalannya yang termanifestasi dalam menjawab soal-soal dalam ujian ataupun tugas harian.

Maia Rosyida melalui novelnya ini menceritakan tentang pengalamannya dan mewakili perasaan ataupun impian anak Indonesia untuk merasakan sekolah yang memberikan kebebasan berekspresi dengan batasan yang masuk akal2. Maia Rosyida ingin mengembalikan definisi sekolah seperti sekolah pada awalnya, kalau kita melihat sejarah bahwa sekolah berasal dari bahasa yunani yang mempunyai arti waktu luang, tentu saja waktu luang yang penuh arti, yang ideal, yang tidak membosankan dan padat dengan pembelajaran. Tentu saja setiap manusia akan punya sikap yang tidak sama dalam menginginkan itu. Mereka punya beragam ekspresi yang tidak bisa dipaksakan untuk sama. Punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tentu saja kelebihan dan kekurangan yang tidak dibuat-buat. Melihat kenyataan seperti itu, akan ada sekolah yang tidak mengekang ekspresi. Aku ingin diberi wadah pada saat-saat remajaku. Aku ingin bersekolah dengan peraturan yang sehat, dengan kebebasan yang berprinsip, dengan berbagai ekspresi dan tentu saja dengan jalan alternative. Jalan yang bisa menjadi bahan escape di tengah-tengah jalanan macet yang sama sekali tidak menguntungkan3. Sekolah seperti ini akan terwujud jika siswa diberikan kebebasan untuk menentukan sikapnya secara mandiri dan mengembangkan bakat-minatnya sendiri. Dengan pilihannya itu siswa akan belajar mempertanggungjawabkan berbagai pilihannya sehingga mereka memahami dan siap secara psikis dan fisik konsekuensi dari pilihannya itu dalam menjalani kehidupan ini. Sekolah yang mereka namakan Alternative Junior High School4 dari segi kurikulum tidak terlalu berbeda dengan pendidikan formal, bahkan sama tapi sekolah ini bisa membuat kurikulum sendiri dan bakalan dinamis, yang akan memberikan banyak pilihan sesuai dengan keinginan anak5. Jika seperti ini maka bersekolah tidak menjadi beban bagi sang anak, bahkan menjadi aktifitas yang menyenangkan untuk anak tersebut. Mereka akan termotivasi dan bersemangat menjalani setiap aktifitasnya tersebut tanpa diselimuti rasa was-was ataupun rasa takut yang merusak kesehatan anak seperti yang sering dirasakan oleh anak di sekolah formal. Karena, sekolah ini mengutamakan kesehatan tanpa efek samping. Sekolah yang sangat banyak pilihan tanpa ada batas. Sekolah yang berlabotarium raksasa berupa alam luas. Sekolah yang dipercaya bakalan bisa menghipnotis anak-anak bangsa untuk membunuh kemalasan6. Aktifitas sekolah tidak dibatasi oleh tembok-tembok sekolah (baca: Ruang kelas), mereka bebas menentukan tempat-tempat dimana mereka harus belajar yang sesuai dengan suasana hati dan yang mendukung materi-materi yang mereka pelajari ataupun diskusikan. Sehingga sawah dan alam menjadi tempat dan obyek eksperimen mereka sehingga alam merupakan lahan pengetahuan bagi mereka. Dengan begitu, banyak hal-hal baru yang mereka dapat dan tidak terdapat dalam buku-buku paket yang digunakan dalam pendidikan formal. Hal seperti ini yang membuat mereka menjadi penasaran dan bahan yang hangat untuk mereka diskusikan. Jika mereka tidak puas dengan hasil diskusinya maka mereka berlomba-lomba kembali ke tempat yang mereka namakan basecamp untuk searching di internet untuk mendapatkan jawaban terhadap hal-hal yang baru mereka dapatkan. Mereka tidak menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan ataupun menjadikan guru sebagai solutif terakhir terhadap permasalahan mereka sehingga apapun yang disabdakan oleh guru merupakan kebenaran yang harus mereka terima tanpa boleh diganggu-gugat, tapi bagi mereka guru sebagai pendamping atau teman sharing mereka. Jadi posisi guru lebih sebagai sahabat yang menfasilitasi pengetahuan itu sendiri.

Dengan menjadikan alam sebagai laboratorium di sekolah ini, bukan berarti ketinggalan zaman ataupun gagap teknologi. Sekolah alternative ini tetap mempunyai fasilitas perpustakaan dan alat-alat penunjang pembelajaran yang mendukung pengembangan bakat-minat siswanya, yang dapat digunakan selama 24 jam. Siswa tidak dibatasi waktunya untuk merealisasikan cita-citanya. Makanya, mereka menyebutnya bukan sekolah tapi basecamp. Mereka lebih banyak berada disekolah ini dari pada di rumahnya. Keberadaan seperti inilah yang melahirkan rasa emosional yang kuat dan kebersaman yang memukau diantara mereka. Mereka menjalani kisahnya penuh kekeluargaan, tantangan-tantanganpun harus mereka lewati baik yang berasal dari ocehan masyarakat yang menyepelekan sekolah mereka yang tidak mementingkan ijazah, maupun tantangan dari internal mereka sendiri, konflik-konflik diantara mereka. Inipun disuguhi dengan kisah cinta antara Hilmiy dengan Icha, yang akhirnya Hilmiy memutuskan Icha karena dia sadar, dia masih kecil, jadi mesti pintar dulu. Nanti juga kalau sudah gede otomatis dapat cewek baik-baik asal kita jadi laki-laki tangguh, dewasa, smart sama cerdik dalam mengatur hidup7. Dan kisah Udin, seorang Introvert yang jatuh cinta pada Kame yang tidak lain adalah Kakak sepupu Hilmiy yang tinggal dirumah orang tuanya Hilmiy. Kame adalah seorang perempuan cantik yang bersekolah di sekolah formal dan sering meminta bantuan ke siswa-siswa sekolah alternative ketika menghadapi kesulitan terhadap materi ataupun tugas dari sekolahnya, bahkan sering menjadi supporter disetiap aktifitas dan perlombaan sekolah alternative. Perhatiannya inilah yang menjadikan Udin jatuh cinta padanya dan Kame menjadi sumber inspirasi dan semangat Udin. Udin memberanikan dirinya mengutarakan cintanya dengan mengirim email ke emailnya Kame, sehingga Kame mendatangi udin dan mengutarakan bahwa Udin bagusnya sebagai adeknya. Apalagi Kame adalah seorang mahasiswa, sementara Udin masih anak SMP. Kame juga sudah memiliki seorang pacar anak dosen di kampungnya yang setia menunggu dia sejak SD. Ini menjadi awal perubahan drastis dan pencarian identitas pada diri Udin. Keegoisan, sedih, marah, jengkel, tangis, pengharapan dan bahkan konflik sering terjadi antara mereka. Udinpun mulai bergabung dengan ganknya alung dan Bonda yang juga mereka sedang mencari identitas dirinya, yang menganggap dirinya dianggap modern jika pirang rambut, merokok, pakai celana robek, yang seperti gaya anak Punk. Pilihan yang diambil oleh Udin, Alung, dan Bonda tentu saja bukan hanya merugikan mereka sendiri tapi nama sekolah mereka menjadi taruhan di mata masyarakat. Kegiatan sekolahpun menjadi terbelangkai karena ulah Udin. Impian dan cita-cita teman-temannya membuat film terancam gagal karena udin tidak hadir di setiap ada syuting. Sikap udin, Alung, dan Bonda sudah tidak bisa tolerin lagi, mereka sudah salah mengekspresikan kebebasan itu sendiri, karena yang dinamakan ekspresi di sekolah ini adalah ekspresi yang menguntungkan diri sendiri dan tidak merugikan orang lain. Kebebasan buat anak-anak adalah untuk melatih rasa tanggungjawab8. Untuk itu mereka dimintai pertanggungjawabannya di musholah satu persatu. Mereka bukan bertanggungjawab ke guru atapun kepala sekolah tapi disekolah ini mereka akan bertanggungjawab ke teman-temannya yang telah dirugikan. Teman-temannya menginterogasi mereka dengan berbagai pertanyaan dan dampak yang mereka alami atas perbuatan Udin, Alung, dan Bonda. Setelah Udin, Alung, dan Bonda mengklarifikasi dan memberikan pernyataan dihadapan teman-temannya maka mereka harus menentukan pilihan sendiri, dengan membuat pernyataan dengan menulis kesalahan-kesalahan mereka dan cara memperbaikinya9. Karena sekolah ini tidak akan mengeluarkan siswanya ketika mereka melakukan kesalahan tapi memberikan kebebesan kepada mereka untuk mempertanggungjawabkan sikap yang telah di pilihnya apakah mereka masih mau sekolah atau memilih mundur dengan cara mengulangi kesalahan-kesalahan yang disengaja itu10.

1.     Hal 6
2.     Hal 8
3.     Hal 8
4.     Hal 19
5.     Hal 19
6.     Hal 24
7.     Hal 221
8.     Hal 189
9.     Hal 187
10.   Hal 192

Tidak ada komentar:

Posting Komentar