Oleh Ikhsan Dorompuri
Mendengar kata
sekolah, orang langsung berpandangan penuh dengan kurikulum, guru, ruangan
sebagai tempat belajar, jadwal pelajaran, tugas harian, peraturan-peraturan,
dan bahkan ujian-ujian, mulai dari ujian masuk sekolah, ulangan harian, ujian
mid semester, ujian semester sampai dengan ujian nasional yang memakan banyak
korban dari depresi sampai bunuh diri. Sekolah
itu cuma mau nampung beban dan pikiran, memberatkan, kayak nggak ada tujuan
yang jelas1. Perasaan ini pernah kita rasakan pada saat kita
sekolah, malahan kita sering mengumpat guru-guru kita karena kita jengkel sama
me
reka atau yang ekstremnya sangat bosan terhadap mereka. Setiap hari kita disuguhi dengan materi-materi yang tidak kita pahami dan tidak tahu apa manfaatnya. Belum lagi kita disuruh menghafal itu semua dan akan diadili, yang dimana guru sebagai hakimnya, siswa sebagai terdakwa yang harus mempertanggungjawabkan atas hafalannya itu. Ujian-ujian yang dilaksanakan di sekolahpun hanyalah sebuah pertanggungjawaban kita terhadap hafalan kita terhadap kurikulum itu. Hafalan-hafalan itu akan tercatat dalam bentuk nilai-nilai di raport ataupun ijazah. Yang akhirnya siswa-siswa akan diranking berdasarkan kemampuan hafalannya yang termanifestasi dalam menjawab soal-soal dalam ujian ataupun tugas harian.
reka atau yang ekstremnya sangat bosan terhadap mereka. Setiap hari kita disuguhi dengan materi-materi yang tidak kita pahami dan tidak tahu apa manfaatnya. Belum lagi kita disuruh menghafal itu semua dan akan diadili, yang dimana guru sebagai hakimnya, siswa sebagai terdakwa yang harus mempertanggungjawabkan atas hafalannya itu. Ujian-ujian yang dilaksanakan di sekolahpun hanyalah sebuah pertanggungjawaban kita terhadap hafalan kita terhadap kurikulum itu. Hafalan-hafalan itu akan tercatat dalam bentuk nilai-nilai di raport ataupun ijazah. Yang akhirnya siswa-siswa akan diranking berdasarkan kemampuan hafalannya yang termanifestasi dalam menjawab soal-soal dalam ujian ataupun tugas harian.
Maia Rosyida melalui
novelnya ini menceritakan tentang pengalamannya dan mewakili perasaan ataupun
impian anak Indonesia untuk merasakan sekolah yang memberikan kebebasan berekspresi dengan batasan yang
masuk akal2. Maia Rosyida ingin mengembalikan definisi sekolah
seperti sekolah pada awalnya, kalau kita melihat sejarah bahwa sekolah berasal
dari bahasa yunani yang mempunyai arti
waktu luang, tentu saja waktu luang yang penuh arti, yang ideal, yang tidak
membosankan dan padat dengan pembelajaran. Tentu saja setiap manusia akan punya
sikap yang tidak sama dalam menginginkan itu. Mereka punya beragam ekspresi
yang tidak bisa dipaksakan untuk sama. Punya kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Tentu saja kelebihan dan kekurangan yang tidak dibuat-buat.
Melihat kenyataan seperti itu, akan ada sekolah yang tidak mengekang ekspresi.
Aku ingin diberi wadah pada saat-saat remajaku. Aku ingin bersekolah dengan
peraturan yang sehat, dengan kebebasan yang berprinsip, dengan berbagai
ekspresi dan tentu saja dengan jalan alternative. Jalan yang bisa menjadi bahan
escape di tengah-tengah jalanan macet yang sama sekali tidak menguntungkan3.
Sekolah seperti ini akan terwujud jika siswa diberikan kebebasan untuk
menentukan sikapnya secara mandiri dan mengembangkan bakat-minatnya sendiri.
Dengan pilihannya itu siswa akan belajar mempertanggungjawabkan berbagai
pilihannya sehingga mereka memahami dan siap secara psikis dan fisik
konsekuensi dari pilihannya itu dalam menjalani kehidupan ini. Sekolah yang
mereka namakan Alternative Junior High
School4 dari segi kurikulum tidak terlalu berbeda dengan
pendidikan formal, bahkan sama tapi sekolah ini bisa membuat kurikulum sendiri dan bakalan dinamis, yang akan
memberikan banyak pilihan sesuai dengan keinginan anak5. Jika
seperti ini maka bersekolah tidak menjadi beban bagi sang anak, bahkan menjadi
aktifitas yang menyenangkan untuk anak tersebut. Mereka akan termotivasi dan bersemangat
menjalani setiap aktifitasnya tersebut tanpa diselimuti rasa was-was ataupun
rasa takut yang merusak kesehatan anak seperti yang sering dirasakan oleh anak
di sekolah formal. Karena, sekolah ini
mengutamakan kesehatan tanpa efek samping. Sekolah yang sangat banyak pilihan
tanpa ada batas. Sekolah yang berlabotarium raksasa berupa alam luas. Sekolah
yang dipercaya bakalan bisa menghipnotis anak-anak bangsa untuk membunuh
kemalasan6. Aktifitas sekolah tidak dibatasi oleh tembok-tembok
sekolah (baca: Ruang kelas), mereka bebas menentukan tempat-tempat dimana
mereka harus belajar yang sesuai dengan suasana hati dan yang mendukung
materi-materi yang mereka pelajari ataupun diskusikan. Sehingga sawah dan alam
menjadi tempat dan obyek eksperimen mereka sehingga alam merupakan lahan
pengetahuan bagi mereka. Dengan begitu, banyak hal-hal baru yang mereka dapat
dan tidak terdapat dalam buku-buku paket yang digunakan dalam pendidikan
formal. Hal seperti ini yang membuat mereka menjadi penasaran dan bahan yang
hangat untuk mereka diskusikan. Jika mereka tidak puas dengan hasil diskusinya
maka mereka berlomba-lomba kembali ke tempat yang mereka namakan basecamp untuk searching di internet untuk mendapatkan jawaban terhadap hal-hal
yang baru mereka dapatkan. Mereka tidak menjadikan guru sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan ataupun menjadikan guru sebagai solutif terakhir terhadap
permasalahan mereka sehingga apapun yang disabdakan oleh guru merupakan
kebenaran yang harus mereka terima tanpa boleh diganggu-gugat, tapi bagi mereka
guru sebagai pendamping atau teman sharing mereka. Jadi posisi guru lebih
sebagai sahabat yang menfasilitasi pengetahuan itu sendiri.
Dengan
menjadikan alam sebagai laboratorium di sekolah ini, bukan berarti ketinggalan
zaman ataupun gagap teknologi. Sekolah alternative ini tetap mempunyai
fasilitas perpustakaan dan alat-alat penunjang pembelajaran yang mendukung
pengembangan bakat-minat siswanya, yang dapat digunakan selama 24 jam. Siswa
tidak dibatasi waktunya untuk merealisasikan cita-citanya. Makanya, mereka
menyebutnya bukan sekolah tapi basecamp. Mereka
lebih banyak berada disekolah ini dari pada di rumahnya. Keberadaan seperti
inilah yang melahirkan rasa emosional yang kuat dan kebersaman yang memukau diantara
mereka. Mereka menjalani kisahnya penuh kekeluargaan, tantangan-tantanganpun
harus mereka lewati baik yang berasal dari ocehan masyarakat yang menyepelekan
sekolah mereka yang tidak mementingkan ijazah, maupun tantangan dari internal
mereka sendiri, konflik-konflik diantara mereka. Inipun disuguhi dengan kisah cinta
antara Hilmiy dengan Icha, yang akhirnya Hilmiy memutuskan Icha karena dia sadar, dia masih kecil, jadi mesti
pintar dulu. Nanti juga kalau sudah gede otomatis dapat cewek baik-baik asal
kita jadi laki-laki tangguh, dewasa, smart sama cerdik dalam mengatur hidup7.
Dan kisah Udin, seorang Introvert yang jatuh cinta pada Kame yang tidak
lain adalah Kakak sepupu Hilmiy yang tinggal dirumah orang tuanya Hilmiy. Kame
adalah seorang perempuan cantik yang bersekolah di sekolah formal dan sering
meminta bantuan ke siswa-siswa sekolah alternative ketika menghadapi kesulitan
terhadap materi ataupun tugas dari sekolahnya, bahkan sering menjadi supporter
disetiap aktifitas dan perlombaan sekolah alternative. Perhatiannya inilah yang
menjadikan Udin jatuh cinta padanya dan Kame menjadi sumber inspirasi dan
semangat Udin. Udin memberanikan dirinya mengutarakan cintanya dengan mengirim
email ke emailnya Kame, sehingga Kame mendatangi udin dan mengutarakan bahwa
Udin bagusnya sebagai adeknya. Apalagi Kame adalah seorang mahasiswa, sementara
Udin masih anak SMP. Kame juga sudah memiliki seorang pacar anak dosen di
kampungnya yang setia menunggu dia sejak SD. Ini menjadi awal perubahan drastis
dan pencarian identitas pada diri Udin. Keegoisan, sedih, marah, jengkel,
tangis, pengharapan dan bahkan konflik sering terjadi antara mereka. Udinpun
mulai bergabung dengan ganknya alung dan Bonda yang juga mereka sedang mencari
identitas dirinya, yang menganggap dirinya dianggap modern jika pirang rambut,
merokok, pakai celana robek, yang seperti gaya anak Punk. Pilihan yang diambil
oleh Udin, Alung, dan Bonda tentu saja bukan hanya merugikan mereka sendiri
tapi nama sekolah mereka menjadi taruhan di mata masyarakat. Kegiatan sekolahpun
menjadi terbelangkai karena ulah Udin. Impian dan cita-cita teman-temannya
membuat film terancam gagal karena udin tidak hadir di setiap ada syuting.
Sikap udin, Alung, dan Bonda sudah tidak bisa tolerin lagi, mereka sudah salah
mengekspresikan kebebasan itu sendiri, karena yang dinamakan ekspresi di sekolah ini adalah ekspresi yang
menguntungkan diri sendiri dan tidak merugikan orang lain. Kebebasan buat
anak-anak adalah untuk melatih rasa tanggungjawab8. Untuk itu
mereka dimintai pertanggungjawabannya di musholah satu persatu. Mereka bukan
bertanggungjawab ke guru atapun kepala sekolah tapi disekolah ini mereka akan
bertanggungjawab ke teman-temannya yang telah dirugikan. Teman-temannya
menginterogasi mereka dengan berbagai pertanyaan dan dampak yang mereka alami
atas perbuatan Udin, Alung, dan Bonda. Setelah Udin, Alung, dan Bonda
mengklarifikasi dan memberikan pernyataan dihadapan teman-temannya maka mereka
harus menentukan pilihan sendiri, dengan membuat pernyataan dengan menulis kesalahan-kesalahan mereka dan cara
memperbaikinya9. Karena sekolah ini tidak akan mengeluarkan
siswanya ketika mereka melakukan kesalahan tapi memberikan kebebesan kepada
mereka untuk mempertanggungjawabkan sikap yang telah di pilihnya apakah mereka masih mau sekolah atau memilih mundur dengan
cara mengulangi kesalahan-kesalahan yang disengaja itu10.
1.
Hal
6
2.
Hal
8
3.
Hal
8
4.
Hal
19
5.
Hal
19
6.
Hal
24
7.
Hal
221
8.
Hal
189
9.
Hal
187
10.
Hal
192
Tidak ada komentar:
Posting Komentar