Posisi
daerah bima yang terletak di ujung timur pulau Sumbawa, dalam sejarah menjadi
jalur maritim yang melintasi kepulauan Nusantara sehingga menjadi tempat
persinggahan penting dalam jaringan perdagangan dari malaka ke maluku.
Perahu-perahu yang tiba di Batavia dan Ambon membawa barang dagangan yang
diperoleh di Bima yaitu Beras, Kayu Sapang, Bahan Lilin, Kayu Cendana, Asam,
Belerang, Kayu Manis, Kain Tenunan, Kuda, Kerbau,Bawang, Kacang Hijau, dan
Biji Ganatri. Karena letaknya ini, Bima menjadi salah satu daerah obyek penyebaran
agama dan secara budaya, budaya Bima tidak independen dari pengaruh dan kondisi
sosial-budaya dari luar (baca: Melayu). Untuk itu, sejarah sosial-budaya Bima
menjadi bagian dari dunia kebudayaan Melayu. Salah satu budaya Bima yang
menjadi sejarah penyebaran agama di wilayah Bima adalah Hanta U’a Pua (Sirih Puan) yang mulai ada sejak masa pemerintahan Sultan Bima yang kedua, Abil Khair
Sirajuddin (1640-1882).
KAMPUNG
MELAYU
Kampung
Melayu yang berada di tengah wilayah kota Bima sekarang tidak bisa dipisahkan
dengan budaya U’a Pua. Sejarah budaya U’a
Pua dimulai dari sejarah eksistensi Kampung Melayu. Kampung Melayu dalam
buku BO Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima
merupakan pemberian (hadiah) Sultan Abdul Kahir kepada kedua gurunya yaitu Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro yang akan
meninggalkan Bima karena sudah dijemput oleh suruhan Raja Goa. Sementara Datuk
tersebut meninggalkan kedua anaknya yang bernama Ince Nara Diraja dan Ince Jaya Indra.
Sultan
Abdul Kahir memberikan sebidang tanah yang sekarang dijadikan Kampung Melayu
kepada orang Melayu untuk menjadi hak pusakanya turun-temurun hingga hari kiamat dan berpesan tidak boleh
dipindahkan atau diambil kembali kampung tersebut kecuali dengan suka dan
keridhaan sendiri dari orang Melayu. Selain Kampung Melayu, Sultan Abdul Kahir
juga memberikan sebidang tanah kepada orang Melayu di sebelah selatan Kampung Melayu
atau disebelah utara sungai Melayu di Sokedo untuk menjadi sawah penghidupan
orang Melayu. Akan tetapi, pemberian yang ini di tolak oleh Datuk-Datuk dan
Ince-Ince Melayu dengan alasan orang Melayu tidak bisa mengerjakan sawah atau
bercocok tanam, melainkan biasa berlayar dan berdagang. Maka mereka memohon
untuk semua dagangan orang Melayu tidak di pungut biaya (pajak)nya dan
permohonan tersebut dikabulkan oleh Raja bima sehingga semua dagangan orang Melayu
tidak diambil biaya (pajak)nya di Syahbandar.
Disamping
itu, Sultan Abdul Kahir juga bersumpah kepada kedua gurunya bahwa Pertama, mengaku dan meneguhkan
selama-lamanya hingga turun-temurun kerajaan Bima aka memandang dengan hormat
dan mulia segala turun-temurun orang Melayu, karena orang ini tidak disamakan dengan
orang pedagang Bugis-Mengkasar karena orang Melayu itu telah menjadi gurunya
dan gurunya tanah bima yang memasukkan agama islam. Kedua, Orang Melayu ini amat berjasa serta berbakti dengan tulus,
ikhlas hatinya kepada tanah Bima dan kepada kerajaan karena telah berpuluh kali
berperang menjadi pahlawan melawan musuh tanah bima dari parampok lautan yang
amat menyusahkan kehidupan orang Bima, sehingga berpuluh-puluh orang Melayu itu
telah membuang jiwanya di pesisir Bima dan di tengah lautan. Maka tiada lain
akan pembalasan jasa orang-orang Melayu itu melainkan telah di akui oleh sultan
Abdul Kahir kepada turunan Melayu itu menjadi sanak saudara dan tolan yang
kekal oleh Sultan Abdul Kahir hingga turun-temurunnya.
SIRIH
PUAN
Perayaan
Sirih Puan adalah upacara mengantarkan
sirih dalam puan yang dilakukan oleh orang Melayu yang berada di bima kepada
Sultan Bima. Perayaan ini dilaksanakan pada bulan maulud (Rabi’ul awal) setiap
tahun. Pada perayaan ini orang-orang Melayu yang berada di Bima berkumpul di Kampung
Melayu untuk merayakan dan meramaikan acara tersebut.
Menurut bapak Hasan Ibrahim seorang
tokoh adat Melayu yang semasa hidupnya memeganng jabatan penghulu Melayu dalam
lembaga Sara Hukum Majelis Adat Dana Mbojo (Alan
Malingi: Makna dan Tujuan Hanta Ua Pua) kata Ua Pua berasal dari bahasa Melayu
“Sirih Puan”, Arti Etimologis (Denotasi) kata tersebut adalah wadah untuk
menyimpan sirih. Arti terminologis (konotasi) kata Ua Pua adalah rangkaian
upacara adat untuk memeriahkan Hari Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, yang
dilaksanakan selama sajuma’a ( sejum’at / sepekan ) pada wura molu ( bulan
maulud / Rabiul Awal ). Puncak dari upacara Ua Pua ditandai dengan penyerahan
Ua Pua yang berisi sebuah Kitab suci Al-Qur’an oleh penghulu Melayu (Ulama)
kepada sultan yang berlangsung pada pagi hari tanggal 12 Rabiul Awal bertempat
di Istana Bima. Upacara tersebut merupakan simbol kesepakatan ulama dan Sultan
bersama seluruh Rakyat untuk menjujung tinggi ( mencintai kitab suci
Al-Qur’an). Dengan kata lain Al Qur’an akan dijadikan sumber hukum serta
pedoman dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, di samping “sunnah Rasul”
dan “Ijtihad para Ulama” (Ijma, Qyas dan Urfshaih)
Dalam buku BO
Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima perayaan Sirih Puan
terkandung didalamnya empat perkara sebagai tanda peringatan yang amat besar
dan amat penting didalamnya yaitu: Pertama,
Memuliakan hari kelahirannya di dunia penghulu kita Nabi Muhammad SAW. Kedua, Sebagai tanda peringatan mulai
masuknya agama Islam di tanah Bima dalam bulan Rabi’ul awal dalam tahun 1050 (hari
kamis, 5 Juli 1640). Ketiga, Tidak boleh
orang lain mengerjakan sirih puan itu, melainkan Penghulu Melayu dan
orang-orang Melayu yaitu sebagai suatu tanda yang memasukkan Islam di Tanah
Bima yaitu orang-orang Melayu. Keempat,
Ketika itulah diangkat dan dimuliakan oleh rakyat tanah bima kepada penghulu
tanah Melayu dan anak Melayu yang di atas usungan sirih puan sebagai suatu
pembalasan hormat kemuliaan oleh sultan Bima kepada penghulu dan turun-temurun Melayu.
Bagi
masyarakat Bima sendiri perayaan Sirih
Puan ini disambut dengan keramaian bermacam-macam permainan dan
pertandingan yang menarik diadakan di lapangan dekat Istana Sultan Bima yaitu pertandingan kuraci, bersepak kaki, dan mengangkat badan. Pertandingan Kuraci adalah pertandingan berpukul-pukulan badan
dengan rotan yang besarnya sebesar pangkal tangan, yang di ikatkan ke tangan
kanan supaya tidak lepas, antara dua orang laki-laki. Seluruh badan petanding
dibungkus dengan kasur, kecuali muka, tangan, dan kaki. Kedua orang petanding ini
dimantrai dulu oleh gurunya masing sebelum masuk ke arena pertandingan dan
saling pukul-memukul, tangkis-menangkis. Pertandingan
Bersepak Kaki merupakan pertandingan dimana seseorang berdiri dan
menganjurkan kakinya ke depan untuk disepak kakinya oleh lawannya sehingga terangkat. Jika
terangkat maka lawannya tersebut menang, jika tidak maka lawannya tersebut
kalah. Kecuali kakinyapun tak dapat disepak sampai terangkat oleh lawannya. Pertandingan Mengangkat Badan adalah
pertandingan dimana seseorang harus mampu mengangkat badan lawannya, jika dia
mampu mengangkat badan lawannya maka dia menang, tapi jika dia tidak mampu
mengangkat badan lawannya maka dia kalah kecuali lawannya nanti tidak mampu
juga mengangkat badan dia. Pertandingan-pertandingan tersebut merupakan ajang
adu ilmu dan menjadi kebanggaan dari tiap-tiap daerah masing-masing. Tiap-tiap
daerah di bima punya jagoan masing-masing yang di utus untuk bertanding di
pertandingan tersebut.
Referensi :
1. Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahuddin, 1999. BO’ Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia
2.
Marah Rusli, 1978. La
Hami. Jakarta: Balai Pustaka
3.
Alan Malingi, 2011. Makna
dan Tujuan Hanta Ua Pua. http://alanmalingi.wordpress.com/2011/02/22/makna-dan-tujuan-hanta-ua-pua/. 26 Juni 2012
4.
Nenek I. Taufan, 2010. Hanta
U’a Pua Maulud Ala Kesultanan Bima. http://www.gong.tikar.or.id/?mn=lintasbudaya&kd=43. 26 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar