Manusia hidup untuk belajar
Bukan belajar untuk hidup
(Jakob Sumaharjo)
Pandangan Jakob Sumaharjo tersebut sudah terlupakan terutama dalam
pendidikan formal yang dilaksanakan oleh sekolah-sekolah di Indonesia.
Pendidikan Indonesia lebih menitik beratkan pada penguasaan kompetensi,
dimana kompetensi yang dimaksud selalu mengacu pada kebutuhan dunia
industri. Dengan kata lain, bahwa peserta didik dituntut belajar karena
tuntutan kebutuhan lapangan kerja, materi-materi yang diberikan sesuai
dengan harapan industri. Kualitas output sangat dipengaruhi tercovernya
seseorang di sebuah perusahaan atau instansi. Aktifitas belajar hanya
mengarahkan Peserta didik belajar pada saat mereka menjalani aktivitas
sekolah formal dengan harapan mendapat nilai
yang bagus, menyelesaikan studi dengan gelar Cum Laude, serta berbagai atiribut kosong yang tidak esensial.
yang bagus, menyelesaikan studi dengan gelar Cum Laude, serta berbagai atiribut kosong yang tidak esensial.
Pendidikan dan pengajaran dengan paradigma seperti ini hanya berfungsi
untuk kebutuhan kerja industri atau instansi, tidak demi peserta didik.
Sehingga setiap kebijakan dan berbagai pengambilan keputusan bukan
sebagai solutif terhadap berbagai alternative problem peserta didik
tetapi lebih disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dunia kerja.
Pendidikan tidak mampu melahirkan manusia seutuhnya; manusia dewasa yang
siap memikul tanggungjawab atas diri sendiri maupun sosial sebagai
manifestasi dari penciptaan sang khalik, manusia mandiri yang
mengembangkan kreatifitas, independen dalam berpikir dan sikapnya serta
tidak menggantungkan segala kehidupannya kepada orang lain.
Hilangnya Makna Belajar
Belajar diidentikkan dengan rutinitas sekolah, seseorang dianggap
belajar ketika berada dibangku sekolah atau kuliah. Bahkan dipersempit
lagi; seseorang belajar ketika akan menghadapi ujian (baik ujian
semester maupun ujian nasional), saat mendapatkan tugas-tugas dari para
guru.. Peserta didik belajar karena ketakuatan mendapatkan sanksi dari
guru, mendapat nilai jelek, tidak naik kelas ataupun tidak lulus Ujian
Nasional. Belajar menjadi suatu keterpaksaan, beban yang berat dan
sangat tidak menyenangkan. Tradisi belajar seperti ini sudah berlangsung
bertahun-tahun.
Sekolah, masyarakat, dan pemerintah mulai heboh membincangkan proses
pembelajaran (belajar) ketika siswa akan menghadapi ujian nasional.
Siswa dituntut berusaha mati-matian siang dan malam untuk menghafal
materi mata pelajaran yang di UN kan. Sekolahpun memberikan les tambahan
atau bimbingan belajar dan trik-trik (strategi) dalam menjawab
soal-soal yang di uji nasionalkan.
Ini mengakibatkan kebuntuan dan keterasingan diri peserta didik,
keterasingan inilah yang sedang melanda dunia pendidikan kita. Peserta
didik tidak memahami apa yang dipelajarinya, apa yang dibutuhkannya, apa
yang dilakukannya. Tidak mampu mengembangkan potensinya, tidak mampu
menyentuh hati nurani (emosional) nya, yang berakhir pada kekerasan yang
menjadi potret dalam dunia pendidikan kita.
Menurut Andrias Harefa, makna belajar sebenarnya identik dengan
pencerahan (aufklarung/enlightenment) atau sebagai proses memanusiakan
manusia (humanisasi). Belajar merupakan proses yang menempatkan manusia
dalam posisinya sebagai terdidik, terpelajar, dan sebagainya. Proses
yang dilakukan seseorang untuk memahami dan menghayati realitas diri dan
lingkungannya. Proses memahami dan menghayati tidak bisa lepas dari
konsep kesadaran (consciousness) Paulo Freire, yaitu manusia yang mampu
memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya dengan bekal
pikiran dan tindakan “praxis” nya ia merubah dunia dan realitas, yang
mampu mengatasi situasi-situasi batas (limit-situations) yang
mengekangnya, manusia yang selalu berproses “menjadi” (becoming) yang
tak pernah selesai sehingga menjadi manusia seutuhnya.
Belajar Tanpa Akhir
Untuk mencapai makna belajar tersebut maka belajar harus menjadi budaya,
rutinitas yang terus menerus, berjalan dinamis dan tidak dibatasi usia
seseorang. Dengan itu libido belajar seseorang semakin berkobar, rasa
keingintahuan ataupun pencariannya terus meningkat dan bersifat terus
menerus karena setiap saat ilmu pengetahuan dan teknologi terupdate. Mau
tidak mau mendorong kita untuk terus mempelajarinya. Problem dalam
kehidupan sosial juga selalu berubah sepanjang perubahan waktu, yang
otamatis tantangan dan penyikapannya berbeda, yang membutuhkan kerja
keras kita semua. Hanya orang-orang yang terus belajar yang mampu
menyikapi secara positif berbagai perubahan dan masalah yang setiap
saat.
Harus diakui untuk menjadikan seseorang belajar tanpa akhir butuh proses
yang panjang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk itu ada
usaha awal yang perlu dilakukan yaitu; pertama, pendidikan kita terutama
pendidikan formal mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
harus menciptakan atau mendorong libido belajar siswa. Ini dapat
dilakukan ketika suasana belajarnya menyenangkan, pembelajaran tidak
terjebak pada buku paket, guru dan peserta didik bebas menggunakan
referensi yang relevan dari manapun sehingga peserta didik bebas
mengekspresikan diri dan mengembangkan potensinya sesuai tuntutan zaman.
Kedua, pemerintah wajib menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai
untuk menunjang belajar peserta didik maupun masyarakat. Menyediakan
perpustakaan dengan berbagai buku-buku literature dan buku-buku
penunjang lainnya sehingga memudahkan peserta didik mendapatkan
referensi yang dibutuhkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar