Halaman

Rabu, 27 Juni 2012

BUDAYA BELAJAR DALAM PENDIDIKAN KITA

Manusia hidup untuk belajar
Bukan belajar untuk hidup
(Jakob Sumaharjo)

Pandangan Jakob Sumaharjo tersebut sudah terlupakan terutama dalam pendidikan formal yang dilaksanakan oleh sekolah-sekolah di Indonesia. Pendidikan Indonesia lebih menitik beratkan pada penguasaan kompetensi, dimana kompetensi yang dimaksud selalu mengacu pada kebutuhan dunia industri. Dengan kata lain, bahwa peserta didik dituntut belajar karena tuntutan kebutuhan lapangan kerja, materi-materi yang diberikan sesuai dengan harapan industri. Kualitas output sangat dipengaruhi tercovernya seseorang di sebuah perusahaan atau instansi. Aktifitas belajar hanya mengarahkan Peserta didik belajar pada saat mereka menjalani aktivitas sekolah formal dengan harapan mendapat nilai
yang bagus, menyelesaikan studi dengan gelar Cum Laude, serta berbagai atiribut kosong yang tidak esensial.

Pendidikan dan pengajaran dengan paradigma seperti ini hanya berfungsi untuk kebutuhan kerja industri atau instansi, tidak demi peserta didik. Sehingga setiap kebijakan dan berbagai pengambilan keputusan bukan sebagai solutif terhadap berbagai alternative problem peserta didik tetapi lebih disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dunia kerja. Pendidikan tidak mampu melahirkan manusia seutuhnya; manusia dewasa yang siap memikul tanggungjawab atas diri sendiri maupun sosial sebagai manifestasi dari penciptaan sang khalik, manusia mandiri yang mengembangkan kreatifitas, independen dalam berpikir dan sikapnya serta tidak menggantungkan segala kehidupannya kepada orang lain.

Hilangnya Makna Belajar
Belajar diidentikkan dengan rutinitas sekolah, seseorang dianggap belajar ketika berada dibangku sekolah atau kuliah. Bahkan dipersempit lagi; seseorang belajar ketika akan menghadapi ujian (baik ujian semester maupun ujian nasional), saat mendapatkan tugas-tugas dari para guru.. Peserta didik belajar karena ketakuatan mendapatkan sanksi dari guru, mendapat nilai jelek, tidak naik kelas ataupun tidak lulus Ujian Nasional. Belajar menjadi suatu keterpaksaan, beban yang berat dan sangat tidak menyenangkan. Tradisi belajar seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun.
Sekolah, masyarakat, dan pemerintah mulai heboh membincangkan proses pembelajaran (belajar) ketika siswa akan menghadapi ujian nasional. Siswa dituntut berusaha mati-matian siang dan malam untuk menghafal materi mata pelajaran yang di UN kan. Sekolahpun memberikan les tambahan atau bimbingan belajar dan trik-trik (strategi) dalam menjawab soal-soal yang di uji nasionalkan.

Ini mengakibatkan kebuntuan dan keterasingan diri peserta didik, keterasingan inilah yang sedang melanda dunia pendidikan kita. Peserta didik tidak memahami apa yang dipelajarinya, apa yang dibutuhkannya, apa yang dilakukannya. Tidak mampu mengembangkan potensinya, tidak mampu menyentuh hati nurani (emosional) nya, yang berakhir pada kekerasan yang menjadi potret dalam dunia pendidikan kita.

Menurut Andrias Harefa, makna belajar sebenarnya identik dengan pencerahan (aufklarung/enlightenment) atau sebagai proses memanusiakan manusia (humanisasi). Belajar merupakan proses yang menempatkan manusia dalam posisinya sebagai terdidik, terpelajar, dan sebagainya. Proses yang dilakukan seseorang untuk memahami dan menghayati realitas diri dan lingkungannya. Proses memahami dan menghayati tidak bisa lepas dari konsep kesadaran (consciousness) Paulo Freire, yaitu manusia yang mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya dengan bekal pikiran dan tindakan “praxis” nya ia merubah dunia dan realitas, yang mampu mengatasi situasi-situasi batas (limit-situations) yang mengekangnya, manusia yang selalu berproses “menjadi” (becoming) yang tak pernah selesai sehingga menjadi manusia seutuhnya.

Belajar Tanpa Akhir
Untuk mencapai makna belajar tersebut maka belajar harus menjadi budaya, rutinitas yang terus menerus, berjalan dinamis dan tidak dibatasi usia seseorang. Dengan itu libido belajar seseorang semakin berkobar, rasa keingintahuan ataupun pencariannya terus meningkat dan bersifat terus menerus karena setiap saat ilmu pengetahuan dan teknologi terupdate. Mau tidak mau mendorong kita untuk terus mempelajarinya. Problem dalam kehidupan sosial juga selalu berubah sepanjang perubahan waktu, yang otamatis tantangan dan penyikapannya berbeda, yang membutuhkan kerja keras kita semua. Hanya orang-orang yang terus belajar yang mampu menyikapi secara positif berbagai perubahan dan masalah yang setiap saat.

Harus diakui untuk menjadikan seseorang belajar tanpa akhir butuh proses yang panjang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk itu ada usaha awal yang perlu dilakukan yaitu; pertama, pendidikan kita terutama pendidikan formal mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi harus menciptakan atau mendorong libido belajar siswa. Ini dapat dilakukan ketika suasana belajarnya menyenangkan, pembelajaran tidak terjebak pada buku paket, guru dan peserta didik bebas menggunakan referensi yang relevan dari manapun sehingga peserta didik bebas mengekspresikan diri dan mengembangkan potensinya sesuai tuntutan zaman. Kedua, pemerintah wajib menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang belajar peserta didik maupun masyarakat. Menyediakan perpustakaan dengan berbagai buku-buku literature dan buku-buku penunjang lainnya sehingga memudahkan peserta didik mendapatkan referensi yang dibutuhkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar