Pada
saat perguruan tinggi di seluruh Indonesia lagi sibuk menerima mahasiswa baru,
DPR mensahkan RUU PT yang sempat mengalami beberapa kali penundaan. Pengesahan
ini diambil untuk memberi kepastian hukum pada semua Perguruan Tinggi Yang
Berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), sebagaimana kita ketahui bersama
bahwa Undang-Undang BHP telah di tolak oleh Mahkamah Konstitusi sehingga perlu
dicarikan solusi terhadap perguruan tinggi yang sudah terlanjur berstatus BHMN
karena masa transisi perguruan tinggi tersebut akan berakhir tahun ini. Beberapa
Perguruan tinggi tersebut akhir-akhir ini juga
mengalami konflik internal sebagai dampak dari ketidakjelasan statusnya pasca putusan penolakan oleh MK atas UU BHP.
mengalami konflik internal sebagai dampak dari ketidakjelasan statusnya pasca putusan penolakan oleh MK atas UU BHP.
Sudah
menjadi keniscayaan di Indonesia setiap ada produk Undang-Undang yang mau
disahkan selalu diwarnai oleh kontroversi baik pro maupun kontra dari Undang-Undang
tersebut. Bahkan sebelum disahkanpun sudah mendapat ancaman dari Asosiasi
Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), BEM Jawa Barat, dan lain-lain untuk
menjudical review Undang-Undang ini
jika sudah disahkan. Ketertutupan dan ketergesahan pemerintah untuk mensahkan Undang-Undang
tersebut dinilai sangat merugikan pihak perguruan tinggi dan insan akademik,
idealnya pemerintah perlu mensosialisasikan dan medialogkan RUU tersebut sehingga
terjadi dialogis yang melahirkan saran dan masukan dari berbagai pihak yang terkena
dampak UU tersebut dan mereka dapat menyalurkan aspirasinya sehingga melahirkan
produk UU yang ideal untuk masa depan pendidikan Indonesia, tidak ada satu
pihakpun merasa dirugikan karena ketidakterwakilan suara mereka dalam UU
tersebut.
Intervensi Pemerintah
Undang-Undang
ini melahirkan kuatnya intervensi pemerintah terhadap pengelolan perguruan
tinggi, ini terlihat pada pasal 65 yang menyatakan perguruan tinggi di evaluasi
oleh menteri dan pasal 66 bahwa status perguruan tinggi negeri ditetapkan
melalui peraturan menteri. Melalui pasal-pasal ini bisa dilihat bahwa pemerintah
berkehendak ingin mengendalikan dan mengontrol PT, melalui UU ini pemerintah
berusaha mempertajam pengawasan terhadap mutu pendidikan. Seperti dibahasakan
oleh Prof. Arif Rahman (Kompas, Rabu/18 Juli 2012) bahwa RUU tersebut
setidaknya dapat mencegah terjadinya tindak korupsi intelektual (intellectual corruption) dan turut
mengendalikan mutu pendidikan. Ia menyadari bahwa saat ini masih ada guru yang
tidak menguasai ilmu yang dimilikinya secara benar, salah satunya alasannya
adalah guru tersebut merupakan lulusan PT yang kurang memperhatikan mutu
pendidikan para lulusannya.
Intervensi
yang kuat dari pemerintah dapat merugikan perguruan tinggi dan membatasi
kreativitas dan kebebasan PT dalam mengelola PTnya. Pemerintah seharusnya
berkaca kepada perguruan tinggi maju di dunia, Semakin maju perguruan tinggi di
dunia maka peran negara dalam pengelolaannya akan terus dikurangi, bahkan
perguruan tinggi maju memiliki kemandirian dan kebebasan dalam mengelola rumah
tangganya tanpa harus dibayang-bayangi oleh intervensi pemerintah. Pengamat
pendidikan HAR Tilaar mengatakan, PT harus diberikan otonomi penuh dan tidak
setengah-setengah. Berdasarkan pengalamannya mengamati pendidikan di
mancanegara, intervensi pemerintah maupun agama justru dapat menghambat
kemajuan, terutama mengenai pendidikan. Harusnya PT diberikan otonomi penuh
karena ilmu pengetahuan takkan berkembang tanpa otonomi.
Melalui
Pasal 66 juga pemerintah ingin mengontrol PT terutama perguruan tinggi swasta yang
selama ini melakukan keliaran sehingga pemerintah dapat mengintervensi mereka
dalam penentuan statusnya. Kekuatan yang besar dimiliki oleh pemerintah ini
memungkinkan pemerintah bersifat otoriter ke Perguruan Tinggi. Kekuatan ini
dapat digunakan untuk mempersulit PT
untuk memperoleh perijinan PT maupun yang lainnya. penekanan yang berlebihan ini
dapat memberikan peluang kepada pihak pemerintah bermain mata dengan PT, ruang
untuk melakukan tindak korupsi sangat besar. Dengan alasan pengendalian mutu PT tetapi
dijadikan lahan bisnis pendidikan.
Internasionalisasi Perguruan Tinggi
Dalam
UU tersebut pemerintah menginjinkan
Perguruan Tinggi Asing atau Luar Negeri bisa mendirikan PT di Indonesia. Walaupun
menurut Muhammad Nuh (kompas, Sabtu/14 Juli 2012) bahwa Perguruan Tinggi Asing yang beroperasi di Indonesia harus
terakreditasi di negaranya. Selain itu, wajib bekerja sama dengan perguruan
tinggi di Indonesia serta mengikutsertakan dosen dan tenaga kependidikan warga
negara Indonesia. Dia akan mengeluarkan Peraturan Mendikbud yang mengatur
perguruan tinggi asing. Dalam Permendikbud itu juga diatur mengenai lokasi
perguruan tinggi asing dapat beroperasi dan program studi yang dapat
diselenggrakan di perguruan tinggi itu. Semangat UU ini untuk mengisi kekosongan
program studi yang tidak dimiliki oleh PT di Indonesia karena membutuhkan biaya besar.
Dengan
adanya internasionalisasi Perguruan tinggi maka nantinya akan sama dengan UU
Migas, akan ada pengalihan metode ataupun
teknologi pendidikan, yang akhirnya perguruan tinggi asing akan mencengkeram
pendidikan di Indonesia. Apalagi perguruan tinggi asing yang masuk ke Indonesia
harus bersifat Nirlaba, mengarahkan pendidikan Indonesia dalam bentuk komersil.
Ini menjadikan Indonesia sebagai lahan atau obyek pendidikan, mahasiswa
terdidik dijadikan obyek untuk memenuhi kebutuhan pasar ataupun industri-industri
Negara-negara maju dan akhirnya pendidikan di Indonesia akan kehilangan arah.
Sungguh
ironis bahwa Undang-Undang yang sudah disahkan ini tidak banyak berbicara hal—hal
yang substansi yang menjadi permasalahan dihadapi oleh bangsa indonesia saat ini
seperti masalah pemerataan pendidikan. Tingginya kesenjangan pendidikan antara
satu daerah dengan daerah yang lain luput dari perhatian UU ini. Padahal masalah
ini harus diselesaikan dengan secepatnya, apalagi masyarakat kita masyarakat
majemuk. Pemerintah seharusnya tidak hanya mendorong perguruan tinggi di Indonesia
untuk mencapai puncak rangking dunia atau berkompetisi dengan
perguruan-perguruan tinggi di dunia, tapi perguruan tinggi di Indonesia seharusnya
didorong juga untuk mampu berkontrribusi dalam memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi oleh masyarakat sekitarnya. Mendorong output mahasiswanya mampu
mengelola sumber daya alam yang di miliki didaerahnya sebagai solutif terhadap
persoalan hidup yang ada di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar