Halaman

Minggu, 13 Januari 2013

KUALITAS GURU MERUPAKAN PROBLEMATIKA KEBANGSAAN

Republik Indonesia lahir berdasarkan berbagai rintisan-rintasan awal sejak kemerdekaan, salah satunya sebagaimana terikrarkan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini merupakan sebuah kesamaan idealisasi kebangsaan yang akan menjadi spirit perjuangan untuk memajukan republik ini, menyatukan misi dari ujung barat pantai aceh sampai daerah pesisir papua. Tanpa ada pembedaan baik dalam bentuk ras, etnis, suku, maupun strata sosial.
Salah satu instrument yang paling menentukan dalam merealisasikan isi pembukaan UUD 1945 tersebut adalah kualitas guru. Peran guru merupakan ujung tombak proses pendidikan. Oleh karena itu, problematika-problematika yang dihadapi guru harus segera mendapatkan solutifnya. Lingkaran-lingkaran jebakan harus segera diputus. Cukuplah sejarah masa orde baru sebagai referensi kelam terhadap nasib guru, dimana Fase demi fase itu telah dilalui oleh guru, pengalaman gelap menjadi guru pada masa orde baru, sosok guru menjadi anak tiri yang berdampak pada rendahnya kualitas guru. Sebuah keniscayaan jika terjadi seleksi alam, minat menjadi guru sangat rendah, menjadi pilihan terakhir generasi pada masanya, generasi yang berkualitas lebih memilih profesi yang lain dari pada menjadi guru, oleh karena tidak adanya jaminan kesejahteraan hidup. Generasi yang berkualitas menjadi candu dengan profesi guru. Kita membutuhkan generasi yang berkualitas yang berkecimpun dalam proses pendidikan Indonesia. Kita membutuhkan guru yang berkualitas, sebagaimana Negara-negara maju lainnya. Seperti Amerika dalam pidato Miriam Kronish membahasakan bahwa masa depan pendidikan di Amerika ditentukan oleh sebuah kekuatan, yaitu guru-guru yang professional. Guru profesionalah yang menjadi gelombang masa depan Amerika. Pemikiran ini juga dianut oleh Kaisar Hirohito, bahwa Guru adalah penentu kemajuan suatu bangsa. Ketika Hiroshima dan Nagasaki hancur pada tahun 1945, dalam pidato pertamanya beliau menanyakan jumlah guru yang masih hidup dari peristiwa pemboman tersebut.
Sebuah ironi yang dialami oleh bangsa Indonesia, berdasarkan Survei dari World Bank yang melibatkan sedikitnya 12 negara di Asia menunjukkan, kualitas pendidikan Indonesia berada pada posisi terendah se-Asia. Riset lainnya yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) juga menunjukkan hal yang sama, yaitu kemampuan siswa-siswa Indonesia dalam bidang Matematika dan Sains cenderung terpuruk.  Menurut Retno Listyarti mengatakan, menurunnya kualitas pendidikan Indonesia, tidak lain disebabkan oleh kualitas guru yang rendah. “Karena guru tidak berkualitas, jadi anak didiknya pun tidak berkualitas. Walaupun pemerintah pasca reformasi melahirkan kebijakan untuk meningkatkan kualitas guru dengan mengadakan program sertifikasi guru. Namun program ini tidak berdampak terhadap peningkatan kualitas guru, salah satu penyebabnya karena program ini masih menggunakan standar formalitas sertifikat maupun ijazah yang dimilikinya, pelaksanaan proses pembelajarannya tidak dievaluasi. Begitu juga, meningkatnya kesejarteraan guru sebagai konsekuensi dari program sertifikasi guru ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas guru. Oleh karena, sudah menjadi rahasia umum bahwa penggunaannya bukan untuk membeli buku atau untuk aktifitas yang mengasah kualitas pengajaran guru tapi guru lebih mementingkan penggunaannya untuk barang-barang yang bersifat pretise sosial maupun untuk biaya sekolah anaknya.
Anies Baswedan, seorang guru harus mesti menguasai dua konsep dasar, yaitu Pengajaran (Pedagogi) dan Kepemimpinan. Guru harus mengerti dan bisa mempraktikkan konsep pedagogi yang efektif agar tujuan pendidikan tercapai. Guru haruslah senantiasaa up-to-date terhadap ilmu pedagogi., Meninggalkan pola teaching centered learning menjadi student centered learning. Karena teacing centered learning akan melahirkan manusia-manusia yang pandai menghafal dan menjawab informasi-informasi yang disampaikan oleh guru, bukan manusia yang mendefinisikan dunia dan menjawab tantangan dunia dengan ide-ide kritisnya. Untuk itu Guru harus selalu belajar meningkatkan kualitas dirinya. Bukan saja belajar tentang metode pengajaran tapi dia harus terus berlatih mempraktikkan pendekatan pembelajaran kontemporer berdasarkan kontekstual siswa dan kebudayaan setempat. Senada dengan itu, menurut Conny R. Semiawan, sekolah yang hanya menghadirkan tukang ajar yang baik sekalipun, akan menghasilkan robot-robot yang terpasung daya kreatifnya yang tidak mampu memajukan ilmu, melainkan hanya menggunakannya. Yang dimaksud dengan tukang ajar adalah mereka yang mengajar tanpa imaginasi edukatif, yaitu mereka yang bermonolog didepan kelas tanpa memberi tugas membaca untuk pengolahan pikiran dan perasaan peserta didik dalam proses pengembangan keterampilan dan/atau keterampilan mental. Hal ini ditekankan lagi oleh Munif Chatib bahwa Siswa sekarang bukan hanya belajar TAHU APA tapi BISA APA, sumber daya manusia saat ini sangat membutuhkan kemampuan bisa apa agar tidak ditaklukkan oleh perkembangan dunia yang pesat. Amatlah naïf, jika guru hanya membekali siswanya dengan pengetahuan tanpa dia dapat melakukan atau mempraktikkan banyak hal yang dibutuhkan bagi kehidupannya kelak.
Selanjutnya guru adalah pemimpin di kelas. Guru mesti memberikan contoh yang baik kepada siswa di kelas. Akhlak guru memancar menjadi inspirasi pembentukan karakter peserta didik dikelasnya. Memberikan motivasi bagi siswa di kelas. Senada dengan itu, Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa guru sebagai pemimpin kelas adalah guru yang menerapkan system among dalam pembelajarannya. Sistem among merupakan suatu metode pembelajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh.  Dalam sistem among, pendidik memberi kemerdekaan, kesukarelaan, demokrasi, toleransi, ketertiban, kedamaian, kesesuaian dengan keadaan dan menghindari perintah dan paksaan. Sistem among yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara antara lain: Pertama, Ing ngarso sung tuladha, artinya pendidik berada di depan sebagai teladan bagi anak. Kedua, Ing madya mangunkarsa, artinya pendidik berada di tengah membangun kemauan dengan memberikan kesempatan anak  mencoba berbuat sendiri. Dan ketiga, Tut wuri handayani, artinya pendidik berada di belakang memberi dorongan dan memantau aktivitas anak dengan memberi  kebebasan yang luas selama tidak membahayakan anak. 


Referensi :
Chatip Munif, Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa Dan Semua Anak Juara. Bandung; Kaifa, 2012
Semiawan Conny, Belajar Dan Pembelajaran Dalam Taraf Usia Dini, Jakarta; Prehalindo, 2002
Maryatun Ika Budi dan Hayati Nur, Pengembangan Program Pendidikan Anak Usia Dini, Yogyakarta: UNY, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar