Republik
Indonesia lahir berdasarkan berbagai rintisan-rintasan awal sejak kemerdekaan, salah
satunya sebagaimana terikrarkan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa. Ini merupakan sebuah kesamaan idealisasi kebangsaan yang akan
menjadi spirit perjuangan untuk memajukan republik ini, menyatukan misi dari
ujung barat pantai aceh sampai daerah pesisir papua. Tanpa ada pembedaan baik
dalam bentuk ras, etnis, suku, maupun strata sosial.
Salah satu
instrument yang paling menentukan dalam merealisasikan isi pembukaan UUD 1945
tersebut adalah kualitas guru. Peran guru merupakan ujung tombak proses
pendidikan. Oleh karena itu, problematika-problematika yang dihadapi guru harus
segera mendapatkan solutifnya. Lingkaran-lingkaran jebakan harus segera
diputus. Cukuplah sejarah masa orde baru sebagai referensi kelam terhadap nasib
guru, dimana Fase demi fase itu telah dilalui oleh guru, pengalaman gelap
menjadi guru pada masa orde baru, sosok guru menjadi anak tiri yang berdampak
pada rendahnya kualitas guru. Sebuah keniscayaan jika terjadi seleksi alam,
minat menjadi guru sangat rendah, menjadi pilihan terakhir generasi pada
masanya, generasi yang berkualitas lebih memilih profesi yang lain dari pada
menjadi guru, oleh karena tidak adanya jaminan kesejahteraan hidup. Generasi
yang berkualitas menjadi candu dengan profesi guru. Kita membutuhkan generasi
yang berkualitas yang berkecimpun dalam proses pendidikan Indonesia. Kita
membutuhkan guru yang berkualitas, sebagaimana Negara-negara maju lainnya. Seperti
Amerika dalam pidato Miriam Kronish membahasakan bahwa masa depan pendidikan di
Amerika ditentukan oleh sebuah kekuatan, yaitu guru-guru yang professional.
Guru profesionalah yang menjadi gelombang masa depan Amerika. Pemikiran ini
juga dianut oleh Kaisar Hirohito, bahwa Guru adalah penentu kemajuan suatu
bangsa. Ketika Hiroshima dan Nagasaki hancur pada tahun 1945, dalam pidato
pertamanya beliau menanyakan jumlah guru yang masih hidup dari peristiwa
pemboman tersebut.
Sebuah ironi yang
dialami oleh bangsa Indonesia, berdasarkan Survei dari World Bank yang
melibatkan sedikitnya 12 negara di Asia menunjukkan, kualitas pendidikan
Indonesia berada pada posisi terendah se-Asia. Riset lainnya yang dilakukan
oleh Program for International Student Assessment (PISA) juga menunjukkan hal
yang sama, yaitu kemampuan siswa-siswa Indonesia dalam bidang Matematika dan
Sains cenderung terpuruk. Menurut Retno Listyarti mengatakan, menurunnya
kualitas pendidikan Indonesia, tidak lain disebabkan oleh kualitas guru yang
rendah. “Karena guru tidak berkualitas, jadi anak didiknya pun tidak
berkualitas. Walaupun pemerintah pasca reformasi melahirkan kebijakan untuk
meningkatkan kualitas guru dengan mengadakan program sertifikasi guru. Namun
program ini tidak berdampak terhadap peningkatan kualitas guru, salah satu
penyebabnya karena program ini masih menggunakan standar formalitas sertifikat
maupun ijazah yang dimilikinya, pelaksanaan proses pembelajarannya tidak dievaluasi.
Begitu juga, meningkatnya kesejarteraan guru sebagai konsekuensi dari program
sertifikasi guru ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas
guru. Oleh karena, sudah menjadi rahasia umum bahwa penggunaannya bukan untuk
membeli buku atau untuk aktifitas yang mengasah kualitas pengajaran guru tapi
guru lebih mementingkan penggunaannya untuk barang-barang yang bersifat pretise
sosial maupun untuk biaya sekolah anaknya.
Anies Baswedan,
seorang guru harus mesti menguasai dua konsep dasar, yaitu Pengajaran (Pedagogi)
dan Kepemimpinan. Guru harus mengerti dan bisa mempraktikkan konsep pedagogi yang
efektif agar tujuan pendidikan tercapai. Guru haruslah senantiasaa up-to-date terhadap ilmu pedagogi., Meninggalkan
pola teaching centered learning
menjadi student centered learning. Karena
teacing centered learning akan
melahirkan manusia-manusia yang pandai menghafal dan menjawab
informasi-informasi yang disampaikan oleh guru, bukan manusia yang
mendefinisikan dunia dan menjawab tantangan dunia dengan ide-ide kritisnya.
Untuk itu Guru harus selalu belajar meningkatkan kualitas dirinya. Bukan saja
belajar tentang metode pengajaran tapi dia harus terus berlatih mempraktikkan
pendekatan pembelajaran kontemporer berdasarkan kontekstual siswa dan kebudayaan
setempat. Senada dengan itu, menurut Conny R. Semiawan, sekolah yang hanya
menghadirkan tukang ajar yang baik sekalipun, akan menghasilkan robot-robot
yang terpasung daya kreatifnya yang tidak mampu memajukan ilmu, melainkan hanya
menggunakannya. Yang dimaksud dengan tukang ajar adalah mereka yang mengajar
tanpa imaginasi edukatif, yaitu mereka yang bermonolog didepan kelas tanpa
memberi tugas membaca untuk pengolahan pikiran dan perasaan peserta didik dalam
proses pengembangan keterampilan dan/atau keterampilan mental. Hal ini
ditekankan lagi oleh Munif Chatib bahwa Siswa sekarang bukan hanya belajar TAHU
APA tapi BISA APA, sumber daya manusia saat ini sangat membutuhkan kemampuan
bisa apa agar tidak ditaklukkan oleh perkembangan dunia yang pesat. Amatlah
naïf, jika guru hanya membekali siswanya dengan pengetahuan tanpa dia dapat
melakukan atau mempraktikkan banyak hal yang dibutuhkan bagi kehidupannya
kelak.
Selanjutnya guru
adalah pemimpin di kelas. Guru mesti memberikan contoh yang baik kepada siswa
di kelas. Akhlak guru memancar menjadi inspirasi pembentukan karakter peserta
didik dikelasnya. Memberikan motivasi bagi siswa di kelas. Senada dengan itu,
Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa guru sebagai pemimpin kelas adalah guru
yang menerapkan system among dalam pembelajarannya. Sistem among merupakan
suatu metode pembelajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan
asuh. Dalam sistem among, pendidik
memberi kemerdekaan, kesukarelaan, demokrasi, toleransi, ketertiban, kedamaian,
kesesuaian dengan keadaan dan menghindari perintah dan paksaan. Sistem among
yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara antara lain: Pertama, Ing ngarso sung tuladha, artinya pendidik berada di depan sebagai teladan bagi anak. Kedua, Ing madya mangunkarsa,
artinya pendidik berada di tengah membangun kemauan dengan memberikan
kesempatan anak mencoba berbuat sendiri.
Dan ketiga, Tut wuri handayani,
artinya pendidik berada di belakang memberi dorongan dan memantau aktivitas
anak dengan memberi kebebasan yang luas
selama tidak membahayakan anak.
Referensi
:
Chatip
Munif, Gurunya Manusia: Menjadikan Semua
Anak Istimewa Dan Semua Anak Juara. Bandung; Kaifa, 2012
Semiawan Conny, Belajar Dan Pembelajaran Dalam Taraf Usia Dini, Jakarta;
Prehalindo, 2002
Maryatun
Ika Budi dan Hayati Nur, Pengembangan Program Pendidikan Anak Usia Dini,
Yogyakarta: UNY, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar