Senja kemerah-merahan mulai
hilang di ujung Barat Langit Madapangga, matahari telah tenggelam dibalik gunung dorompuri, Desa
Mpuri yang terang kini kian pudar cahayanya, jarak pandangpun mulai
remang-remang, yang akhirnya akan hilang dan digantikan dengan kabut gelap. Lama
ia memandang ke barat, hanya Gunung Dorompuri yang tertutup kabut yang ia lihat.
Perlahan-lahan ia berjalan lemah kembali menuju sarangge1 di beranda rumahnya, diperbaikinya rimpu2 yang ia kenakan,
entahlah sudah puluhan kali dia memperbaiki rimpu-nya
walau tidak ada yang salah dengan posisi ataupun rias rimpu yang membalut wajah dan tubuhnya, hanya karena kegelisahanlah
yang membuat dia bersikap seperti itu. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan
melepas napas panjang, yang menandakan ia dalam kebingungan. Tidak seperti
biasa suaminya pulang terlambat begini, sejak mereka menikah 17 tahun yang
lalu, kalaupun dia akan terlambat pulang pasti memberitahu dulu paginya ataupun
menitip pesan pada orang-orang dikampung yang sudah pulang dari tadi sore. Ya Allah Ya Rabbi.. kenapa dia terlambat
pulang, apa gerangan yang terjadinya pada dirinya, adakah arang yang melintang
dijalan? Cetusnya dalam beribu pertanyaan yang tak mampu dia jawab sendiri.
“Dia belum juga pulang”, suara
penuh kesedihan yang tak keluar dari lubuk hatinya. Kesedihan dan kekhawatiran
terlukis dari raut wajahnya, wajah yang mulai menua, mulai dihinggapi
bintik-bintik hitam, tapi tetap nampak cantik yang menunjukkan bekas-bekas
kecantikan masa remajanya, sehingga dia menutup wajahnya dengan rimpu mpida3 sampai dipersunting oleh Ama4 Sile. Seandainya Allah mengkaruniakan dia seorang
anak dalam pernikahannya, mungkin Ina5
Hawa tak akan segelisah ini. Ia akan menyuruh anaknya pergi menyusul dan
mencari tahu keadaan Ama Sile, atau Ama Sile tidak akan sendirian di sawah,
akan ada yang menemani atau menjaganya jika ia mengalami masalah di sawah. ataupun
Ina Hawa tidak akan sendirian disini,
akan ada orang yang menemani, meyakinkan perasaanku bahwa tidak terjadi apa-apa
sama ama sile, dan menenangkan hatiku, membisikkan kata-kata indah yang
mententramkan hatiku, impian Ina Hawa
untuk menghapus kekuatirannya.
Berdiri Ina Hawa dari sarangge dan
berjalan menuju pintu pagar rumahnya, menoleh kiri-kanan mengikuti arah jalan
yang menuju ke sawah, mengharap sesosok tubuh Ama Sile tertangkap oleh mata kecemasannya. Sejauh matanya
memandang tanda-tanda kehadiran Ama Sile belum
juga Nampak, hanya cahaya lampu-lampu obor yang berbaris disetiap pintu pagar
rumah penduduk yang terlihat. Sesekali dia melihat bayangan kelelawar yang
dipancarkan oleh sinar obor melintasi jalan raya, berburu buah pohon kapuk.
Jeritan kelelawar yang berebut buah pohon kapuk memecah kekosongan pikiran Ina Hawa.
Ini pertama kalinya ia merasakan
kesunyian menyenyatkan hati, senandung kesepian yang terbingkai dalam
kerinduan. menyadari bahwa ia tak bisa terpisah dari Ama Sile. Berjanji dalam hati tak ingin bersikap kasar lagi sama Ama Sile, dia sudah cukup menderita
selama ini, ia selalu berusaha membahagianku, walau ia tahu tampak muka Ama Sile menceritakan kekecewaan karena
sudah 17 tahun mereka bersama tapi ia belum mempersembahkan anak seorangpun. Seharusnya
dia yang marah padaku, menyalahkanku. Bukankah ia selalu meminta kepadaku untuk
berkonsultasi ke dokter. Tapi, Aku tak kuasa melakukan itu, aku tak punya
keberanian untuk mendengar vonis bahwa aku mandul, tak bisa melahirkan anak,
tak akan pernah merasakan menggendong seorang bayi dari rahimku sendiri. Ia
selalu mengajarkanku akan kesabaran dan pengharapan, Ia mewujudkan dirinya sebagai
pembelaku dalam menghadapi setiap sindiran dari orang tuaku maupun keluarganya,
menghapus deraian air mata dari rongga-rongga mataku yang menganga.
…..
Diingatnya bahasa Ama Sile saat pertengkaran tadi malam,
bukannya aku tak ingin menikah lagi, dia wanita cantik dan berhati baik yang
ingin kau persembahkan untukku, aku harus mengakui bahwa aku tergoda dan
mengagumi kecantikan serta keikhlasan dia. Itu sudah manusiawi ketika manusia
punya perasaan seperti yang aku rasakan. Karena, semuanya sudah inheren dalam
setiap diri insan manusia. Aku harap jangan kamu mengajari aku dengan ayat dan
sabda-sabda Tuhan, apalagi hanya untuk melegitimasi ke-ego-anmu, hanya ingin
menampakkan ketaatan dan kepatuhanmu terhadap ayat-ayat Tuhan. Walau engkau
sendiri belum paham apa itu keikhlasan dan keadilan. Ini bukan hanya persoalan
kita berdua, tapi persoalan aku, kamu, dan wanita itu. Belum tentu, aku dan
kamu dapat berbuat adil sama wanita itu, apalagi keluarga kita semua. Bukannya aku
melakukan makar terhadap ayat dan sabda-sabda Tuhan, aku sangat menyadarinya
sebagai konsekuensi Tauhidku. Aku hanya ingin belajar menjadi Muhammad yang
tidak pernah menduakan Khadijah, Aku hanya ingin belajar menjadi Imam Ali yang
tidak pernah menyakiti hati Fatimah Azzahra dengan tidak membagi cintanya. Ini adalah
jalan yang harus kita lalui, jalan yang membuat kita memiliki pengharapan,
memiliki penantian, dan membuat kita bersimpuh disetiap pergantian malam dengan
syair-syair permohonan akan kehadiran sebuah sintesis dari raga kita berdua. aku
harap engkau jangan melaknatku dengan kesesatan dan bersuara keras dihadapanku
karena aku berbeda dengan jalan pikiranmu.
Kau tak bisa jauh dariku, ucap Ama Sile. Aku lebih memahamimu dari pada
apa yang kau ketahui, waktu 17 tahun sudah cukup mengajariku untuk melukismu.
Jangan lagi memintaku untuk berbagi cinta yang akan menampakkan kebodohanmu.
Kau ingin Nampak berbesar hati dan sabar dengan menerima keinginan wanita itu,
Nampak ikhlas dengan memintaku menikahi wanita itu. Kesabaran dan keikhlasan
bukan mewujud ketika dalam rumah ini memiliki dua makmum, tapi termanifestasi ketika
kita sabar dan ikhlas menerima rumah ini belum dikarunia seorang anak. Berumah
tangga bak dua orang yang berperahu mengarungi samudera luas, butuh kebersamaan
dan seirama symphony melodi untuk mencapai tepian. Biarkanlah nada-nada itu
seirama sehingga kita bisa mengarahkan perahu ini melewati badai dan kegelapan.
Menjadikan badai dan kegelapan sebagai penari latar dalam lagu yang kita
mainkan. Jangan biarkan perahu itu tenggelam, terhanyut oleh badai karena
perahu itu tanpa kemudi. Sebab, Kemudinya lagi mengurus pasangannya yang masih
ragu melewati samudera. Kemudinya yang tak lagi mengarahkan perahunya karena
menghabiskan waktunya untuk mengarahkan awaknya, kemudi yang tak lagi menambal
kebocoran perahunya karena lagi mengatur awaknya. Begitu juga dengan rumah tangga kita, sudah 17
tahun kita melewati jalan dengan rumah ini. Kita butuh kebersamaan, saling
mendukung untuk melewati jalan ini. Aku tak ingin kau sakit sehingga aku harus
mengurusmu dan melupakan kemudi rumah ini. Tahukah kamu sayang… ketika kamu
punya masalah akulah pembelamu, tapi aku tak ingin menghabiskan tenagaku untuk
menyelesaikan masalah dalam pikiranmu.
.....
Assalamu ‘alaikum, sapa Ama Sile. Kenapa Ina di situ. Tersentak Ina
Hawa terbangun. Berlari ia menuju Ama
Sile seperti anak kecil yang berlomba mengharap rangkulan dari ibunya. Menangis
ia tersendak-sendak, menghapus kekuatiran dan kecemasannya dalam pelukan Ama Sile.
Kenapa
Ina.. kenapa Inaaa???? Tanya Ama Sile dengan
kebingungan melihat tingkah Ina hawa.
Jangan
pernah tinggalkan Ina, Ina tidak bisa hidup tanpa Ama, maafkan Ina yang selama ini menyakiti hati Ama, yang selalu meminta Ama
menikah lagi. Ina ingin selalu
bersama Ama, sampai nyawa ini
terpisah dari tubuh ini, hanya kematian yang menghijapi kita Ama. Ucap Ina Hawa dengan tangisan.
Ssssssssttttttttttttt……
sahut Ama Sile
Ndak
baik ngomong begitu, setiap kata yang terucap adalah doa dihadapan Allah SWT.
Nanti Allah meng-ijabah kata-kata Ina.
Akupun mencintai Ina dengan sepenuh
hatiku. Ingin selalu bersama dengan Ina
dalam kesederhanaan yang kita miliki ini. Sampai perahu yang kita naikki ini
sampai ke tepian.
Sudah
Ina.. ayo kita masuk, malu dilihat
sama tetangga. Ajak Ama Sile
Di
bawanya Ina Hawa yang tergulai dalam
pelukannya masuk ke dalam rumah, sesekali dia mencium keningnya untuk
mendamaikan hati Ina Hawa. Dikuatkannya
hati Ina Hawa bahwa ketika kita dalam
ketiadaan, dalam ketidakmilikian apa-apa, yakinlah bahwa itu pertanda reski
Tuhan akan menyapamu. Persiapkan diri kita untuk menyambut reski itu, sehingga
kita menjadi orang yang layak menerima reski itu.
Catatan
:
1. Sarangge (bale)
yaitu kursi dari bambu yang biasa di simpan di halaman rumah
2. Rimpu merupakan
cara berpakaian kaum wanita di Bima yaitu menggunakan kain sarung untuk
menutupi kepala dan badan, sehingga yang terlihat hanya wajah, atau bahkan
hanya bagian mata.
3. Rimpu mpida
merupakan cara berpakaian kaum wanita di Bima yaitu menggunakan kain sarung
untuk menutupi kepala dan badan sehingga yang kelihatannya hanya bagian mata
saja. Atau seperti cadar ala bima.
4. Ama, yaitu
ayah, bapak.
5. Ina, yaitu
ibu, mama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar