Halaman

Selasa, 08 Januari 2013

CINTAKU SEKERAS DOROMPURI

Senja kemerah-merahan mulai hilang di ujung Barat Langit Madapangga, matahari  telah tenggelam dibalik gunung dorompuri, Desa Mpuri yang terang kini kian pudar cahayanya, jarak pandangpun mulai remang-remang, yang akhirnya akan hilang dan digantikan dengan kabut gelap. Lama ia memandang ke barat, hanya Gunung Dorompuri yang tertutup kabut yang ia lihat. Perlahan-lahan ia berjalan lemah kembali menuju sarangge1 di beranda rumahnya, diperbaikinya rimpu2 yang ia kenakan, entahlah sudah puluhan kali dia memperbaiki rimpu-nya walau tidak ada yang salah dengan posisi ataupun rias rimpu yang membalut wajah dan tubuhnya, hanya karena kegelisahanlah yang membuat dia bersikap seperti itu. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan melepas napas panjang, yang menandakan ia dalam kebingungan. Tidak seperti biasa suaminya pulang terlambat begini, sejak mereka menikah 17 tahun yang lalu, kalaupun dia akan terlambat pulang pasti memberitahu dulu paginya ataupun menitip pesan pada orang-orang dikampung yang sudah pulang dari tadi sore.  Ya Allah Ya Rabbi.. kenapa dia terlambat pulang, apa gerangan yang terjadinya pada dirinya, adakah arang yang melintang dijalan? Cetusnya dalam beribu pertanyaan yang tak mampu dia jawab sendiri.   
“Dia belum juga pulang”, suara penuh kesedihan yang tak keluar dari lubuk hatinya. Kesedihan dan kekhawatiran terlukis dari raut wajahnya, wajah yang mulai menua, mulai dihinggapi bintik-bintik hitam, tapi tetap nampak cantik yang menunjukkan bekas-bekas kecantikan masa remajanya, sehingga dia menutup wajahnya dengan rimpu mpida3  sampai dipersunting oleh Ama4 Sile. Seandainya Allah mengkaruniakan dia seorang anak dalam pernikahannya, mungkin Ina5 Hawa tak akan segelisah ini. Ia akan menyuruh anaknya pergi menyusul dan mencari tahu keadaan Ama Sile, atau Ama Sile tidak akan sendirian di sawah, akan ada yang menemani atau menjaganya jika ia mengalami masalah di sawah. ataupun Ina Hawa tidak akan sendirian disini, akan ada orang yang menemani, meyakinkan perasaanku bahwa tidak terjadi apa-apa sama ama sile, dan menenangkan hatiku, membisikkan kata-kata indah yang mententramkan hatiku, impian Ina Hawa untuk menghapus kekuatirannya.
Berdiri Ina Hawa dari sarangge dan berjalan menuju pintu pagar rumahnya, menoleh kiri-kanan mengikuti arah jalan yang menuju ke sawah, mengharap sesosok tubuh Ama Sile tertangkap oleh mata kecemasannya. Sejauh matanya memandang tanda-tanda kehadiran Ama Sile belum juga Nampak, hanya cahaya lampu-lampu obor yang berbaris disetiap pintu pagar rumah penduduk yang terlihat. Sesekali dia melihat bayangan kelelawar yang dipancarkan oleh sinar obor melintasi jalan raya, berburu buah pohon kapuk. Jeritan kelelawar yang berebut buah pohon kapuk memecah kekosongan pikiran Ina Hawa.

Ini pertama kalinya ia merasakan kesunyian menyenyatkan hati, senandung kesepian yang terbingkai dalam kerinduan. menyadari bahwa ia tak bisa terpisah dari Ama Sile. Berjanji dalam hati tak ingin bersikap kasar lagi sama Ama Sile, dia sudah cukup menderita selama ini, ia selalu berusaha membahagianku, walau ia tahu tampak muka Ama Sile menceritakan kekecewaan karena sudah 17 tahun mereka bersama tapi ia belum mempersembahkan anak seorangpun. Seharusnya dia yang marah padaku, menyalahkanku. Bukankah ia selalu meminta kepadaku untuk berkonsultasi ke dokter. Tapi, Aku tak kuasa melakukan itu, aku tak punya keberanian untuk mendengar vonis bahwa aku mandul, tak bisa melahirkan anak, tak akan pernah merasakan menggendong seorang bayi dari rahimku sendiri. Ia selalu mengajarkanku akan kesabaran dan pengharapan, Ia mewujudkan dirinya sebagai pembelaku dalam menghadapi setiap sindiran dari orang tuaku maupun keluarganya, menghapus deraian air mata dari rongga-rongga mataku yang menganga.
…..
Diingatnya bahasa Ama Sile saat pertengkaran tadi malam, bukannya aku tak ingin menikah lagi, dia wanita cantik dan berhati baik yang ingin kau persembahkan untukku, aku harus mengakui bahwa aku tergoda dan mengagumi kecantikan serta keikhlasan dia. Itu sudah manusiawi ketika manusia punya perasaan seperti yang aku rasakan. Karena, semuanya sudah inheren dalam setiap diri insan manusia. Aku harap jangan kamu mengajari aku dengan ayat dan sabda-sabda Tuhan, apalagi hanya untuk melegitimasi ke-ego-anmu, hanya ingin menampakkan ketaatan dan kepatuhanmu terhadap ayat-ayat Tuhan. Walau engkau sendiri belum paham apa itu keikhlasan dan keadilan. Ini bukan hanya persoalan kita berdua, tapi persoalan aku, kamu, dan wanita itu. Belum tentu, aku dan kamu dapat berbuat adil sama wanita itu, apalagi keluarga kita semua. Bukannya aku melakukan makar terhadap ayat dan sabda-sabda Tuhan, aku sangat menyadarinya sebagai konsekuensi Tauhidku. Aku hanya ingin belajar menjadi Muhammad yang tidak pernah menduakan Khadijah, Aku hanya ingin belajar menjadi Imam Ali yang tidak pernah menyakiti hati Fatimah Azzahra dengan tidak membagi cintanya. Ini adalah jalan yang harus kita lalui, jalan yang membuat kita memiliki pengharapan, memiliki penantian, dan membuat kita bersimpuh disetiap pergantian malam dengan syair-syair permohonan akan kehadiran sebuah sintesis dari raga kita berdua. aku harap engkau jangan melaknatku dengan kesesatan dan bersuara keras dihadapanku karena aku berbeda dengan jalan pikiranmu.

Kau tak bisa jauh dariku, ucap Ama Sile. Aku lebih memahamimu dari pada apa yang kau ketahui, waktu 17 tahun sudah cukup mengajariku untuk melukismu. Jangan lagi memintaku untuk berbagi cinta yang akan menampakkan kebodohanmu. Kau ingin Nampak berbesar hati dan sabar dengan menerima keinginan wanita itu, Nampak ikhlas dengan memintaku menikahi wanita itu. Kesabaran dan keikhlasan bukan mewujud ketika dalam rumah ini memiliki dua makmum, tapi termanifestasi ketika kita sabar dan ikhlas menerima rumah ini belum dikarunia seorang anak. Berumah tangga bak dua orang yang berperahu mengarungi samudera luas, butuh kebersamaan dan seirama symphony melodi untuk mencapai tepian. Biarkanlah nada-nada itu seirama sehingga kita bisa mengarahkan perahu ini melewati badai dan kegelapan. Menjadikan badai dan kegelapan sebagai penari latar dalam lagu yang kita mainkan. Jangan biarkan perahu itu tenggelam, terhanyut oleh badai karena perahu itu tanpa kemudi. Sebab, Kemudinya lagi mengurus pasangannya yang masih ragu melewati samudera. Kemudinya yang tak lagi mengarahkan perahunya karena menghabiskan waktunya untuk mengarahkan awaknya, kemudi yang tak lagi menambal kebocoran perahunya karena lagi mengatur awaknya.  Begitu juga dengan rumah tangga kita, sudah 17 tahun kita melewati jalan dengan rumah ini. Kita butuh kebersamaan, saling mendukung untuk melewati jalan ini. Aku tak ingin kau sakit sehingga aku harus mengurusmu dan melupakan kemudi rumah ini. Tahukah kamu sayang… ketika kamu punya masalah akulah pembelamu, tapi aku tak ingin menghabiskan tenagaku untuk menyelesaikan masalah dalam pikiranmu.  
.....
Assalamu ‘alaikum, sapa Ama Sile. Kenapa Ina di situ. Tersentak Ina Hawa terbangun. Berlari ia menuju Ama Sile seperti anak kecil yang berlomba mengharap rangkulan dari ibunya. Menangis ia tersendak-sendak, menghapus kekuatiran dan kecemasannya dalam pelukan Ama Sile.
Kenapa Ina.. kenapa Inaaa???? Tanya Ama Sile dengan kebingungan melihat tingkah Ina hawa.
Jangan pernah tinggalkan Ina, Ina tidak bisa hidup tanpa Ama, maafkan Ina yang selama ini menyakiti hati Ama, yang selalu meminta Ama menikah lagi. Ina ingin selalu bersama Ama, sampai nyawa ini terpisah dari tubuh ini, hanya kematian yang menghijapi kita Ama. Ucap Ina Hawa dengan tangisan.
Ssssssssttttttttttttt…… sahut Ama Sile
Ndak baik ngomong begitu, setiap kata yang terucap adalah doa dihadapan Allah SWT. Nanti Allah meng-ijabah kata-kata Ina. Akupun mencintai Ina dengan sepenuh hatiku. Ingin selalu bersama dengan Ina dalam kesederhanaan yang kita miliki ini. Sampai perahu yang kita naikki ini sampai ke tepian.
Sudah Ina.. ayo kita masuk, malu dilihat sama tetangga. Ajak Ama Sile
Di bawanya Ina Hawa yang tergulai dalam pelukannya masuk ke dalam rumah, sesekali dia mencium keningnya untuk mendamaikan hati Ina Hawa. Dikuatkannya hati Ina Hawa bahwa ketika kita dalam ketiadaan, dalam ketidakmilikian apa-apa, yakinlah bahwa itu pertanda reski Tuhan akan menyapamu. Persiapkan diri kita untuk menyambut reski itu, sehingga kita menjadi orang yang layak menerima reski itu.

Catatan :
1.    Sarangge (bale) yaitu kursi dari bambu yang biasa di simpan di halaman rumah
2.    Rimpu merupakan cara berpakaian kaum wanita di Bima yaitu menggunakan kain sarung untuk menutupi kepala dan badan, sehingga yang terlihat hanya wajah, atau bahkan hanya bagian mata.
3.    Rimpu mpida merupakan cara berpakaian kaum wanita di Bima yaitu menggunakan kain sarung untuk menutupi kepala dan badan sehingga yang kelihatannya hanya bagian mata saja. Atau seperti cadar ala bima.
4.    Ama, yaitu ayah, bapak.
5.    Ina, yaitu ibu, mama.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar