Untuk kesekian kalinya engkau
hadir dalam mimpi ini bercerita tentang kebersamaan kita, lantunan suaramu
tidak pernah berubah, menjadi magnet dalam diriku. menghentakkan badan,
menghijabi diri dari tempat tidur. Duduk aku di sudut kamar tanpa penerangan, gelap..gelap
segelap hatiku yang hampa. Merenungi titian sejarah yang engkau tuliskan dalam
perjalanan hidupku. Kenapa engkau harus hadir disetiap pertiga malamku.
Bukankah engkau merupakan masa laluku, waktu telah menutup lembaran-lembaran
dialektika kita. Engkau bukanlah seperti malaikat yang menyampaikan wahyu
kepada Utusan Allah. Yang membuat hati tak mau berjarak, selalu merindu dan
menanti kehadiranmu, yang membuat hati mekar.
Engkau
hanyalah seorang wanita yang mengganggu malam-malamku, menorehkan luka-luka di
hati yang tak pernah di verban. Hati yang kubiarkan terus menganga tanpa balut,
memerah seperti senja biar orang tahu bahwa cinta itu melukai, merindu itu
penderitaan, sakit itu kenikmatan. Adakah sebuah makna yang ingin engkau cerita
disetiap sapaanmu, Rasio dan jiwa telah engkau rebut yang mengantarkanku akan
kesyirikkan dan kenafikan. Aku harus jujur bahwa engkau telah menghegemoni
sadarku dan meninggalkan kehampaan. Setiap ku menghadap Kiblat, engkau
mewujudkan diri dalam mendung yang menghijabi sinar matahari, menjadi tirai
ruang keluh-kesah, mengkakukan lidah untuk berucap dzikir dan do’a padaNya.
Malam-malam akupun tak pernah
berubah, memburuku dengan jelmaanmu, wajah polos yang masih fitri, tanpa noda
accessories bedak yang menandakan engkau wanita modern. Senyuman yang kau
banggakan, ingin menunjukkan lesung kedua pipimu. Engkau balut wajah itu dengan
kerudung biru yang terurai keseluruh tubuhmu. Dengan Warna biru selalu engkau
agung-agungkan, biru adalah identitasku, karena biru melambangkan kedamaian,
keterbukaan, dan plural. Aku ingin orang melihat aku sebagai wanita yang selalu
memberikan senyuman kepada setiap orang, memberikan kedamaian kepada setiap,
dan terbuka pada siapa saja, bukan karena agama, bukan karena gender, ras,
suku, Tapi karena Kemanusiaan, Kemanusiaan. Itu ucapmu setiap menggambarkan
dirimu. Bagiku, engkau tidak hanya itu.. melebihi dari itu semua, warna tak
mampu melukis dirimu, tinta akan luntur dari kanvas, engkau adalah perwakilan
bidadari di bumi, engkau merupakan rembulan yang didamba oleh raja kegelapan,
yang dinanti oleh malam.
………..
Aku harus kuat, aku harus
bangun dari ini semua…. Ini sudah sepuluh tahun yang lalu, aku harus belajar
melupakanmu, membiarkanmu terbunuh dalam sejarah kehidupanku. Waktu sepuluh
tahun sudah cukup bagiku untuk mengumpulkan amunisi, aku masih kuat seperti
dulu, aku sudah mengasah peluru ini, peluru yang terus ku asah, untuk melewati
puih-puih perjalanan ini. Bukankah aku tak pernah mengeluh kepadamu atau
bernampak lemah dihadapanmu. Tapi, biarkan aku mengingat dirimu untuk terakhir
kalinya, walaupun itu kelihatan cengeng untukmu. Mengingat-ingat sejarah
perjalanan kebersamaan kita yang terekam dalam memoriku. Ku tahu ini akan
terasa sakit dan merajam jiwa, tapi inilah yang bisa kupersembahkan untuk
terakhir kalinya bahwa aku mencintai dirimu. Engkau yang selalu super heboh
sendiri, over ke-PD-an, kata yang selalu kau suka, kau banggakan dan selalu kau
harap itu terucap dari mulutku setiap saat, karena menunjukkan bahwa aku sangat
menyangimu. Dimana-mana kau membuat kekisruhan, hanya ingin menarik perhatian
semua orang. Kau ingin menjadi pusat perhatian, kau ingin semua orang
mencurahkan cintanya padamu. Engkau sibuk untuk menarik perhatian orang-orang
di sekitarmu, mencari cinta untukmu. Sehingga engkau Melupakan ada orang yang
selalu memperhatikanmu, mencintai dirimu walau tanpa kau melakukan itu. Kau
tidak pernah peduli apa yang dirasakan orang ketika melihat tingkahmu, kau
menghabiskan waktumu untuk menarik perhatian orang disekitarmu. Kau lupa bahwa
aku mencintaimu, aku ingin bersamamu melewati dahaga kehidupan ini. Ku ingin
engkau sudi memberikan tetesan hujan yang menyirami gersangnya kemarau cinta di
hati ini dan mengakhiri penantian ini, merubah siklus kehidupan cintaku. Bersamamu
ku menatap masa depan dan ku ikrarkan dalam hati bahwa tidak ada lagi
pembanding dirimu, menerima dirimu seutuhnya, tanpa Tanya. Sejarah menyaksikan
perjalanan kebersamaan kita, mencatat setiap ikrar janji yang terucap dari kita
berdua, janji-janji kesetiaan yang selalu terucap sebelum kita tidur. Engkau
selalu berbicara tentang kesetiaan, kesetiaan ikan layang-layang dalam cerita
Karen White, “Ikan layang-layang yang setia kepada pasangannya seumur hidup,
ketika salah satunya mati maka pasangannya akan tenggelam ke dasar lautan dan
ikut mati”. Kau sangat iri pada ikan itu dan memimpikan kebahagiaan yang
dirasakan oleh mereka. Mereka saling mencintai, tak berhenti menyayangi, tidak
berhenti walaupun detik-detik terakhir mereka. Kau ingin aku seperti ikan
layang-layang, selalu bersamamu dan mendampingimu. Kesetiaan butuh pengorbanan,
kita harus menafikan diri kita untuk pasangan kita, ucapmu. Ini bukan persoalan
perngorbanan sayang, bukan persoalan siapa yang harus mengorbankan diri ataupun
menyerahkan dirinya untuk orang lain. Ini adalah persoalan kebersamaan,
kebersamaan kita untuk kebahagiaan kita berdua. kita akan selalu bersama
seperti ikan layang-layang jawabku. Aku tak pernah berhenti mencintaimu
sedetikpun, aku menghirup napas kehidupan dari napasmu. Engkau rebahkan
kepalamu didadaku, merasakan irama napas didada hanyalah bersyair namamu. Ku
mainkan ujung ramput mu seperti boneka Barbie.
…………….
Aku harus menentukan arahku,
tidak ada arah lain yang aku ikuti selain kebebasan darimu. Arah yang akan
menuntunku ke puncak. Kenapa engkau terus diam tak berucap, apakah engkau takut
kehilanganku. Jawablah dan berhentilah menangis, desahku. Bukankan kamu selalu
bilang bahwa menangis itu adalah ketidakberdayaan, menangis itu penghambaan,
menangis itu mengibaan. Aku ragu engkau mencintaiku, menyayangi diriku. Engkau
hanya berucap dan merangkai kata untuk penyenang hatiku. Engkau berjalan
meninggalkanku tanpa pernah menoleh, mengucapkan selamat tinggal. Walaupun
untuk terakhir kalinya, engkau masih dengan kesombonganmu dan bertahan dengan
keangkuhanmu, jangan kau ucap selamat tinggal tapi ucaplah sampai ketemu lagi,
ucapmu. Masih dengan keyakinan dan over ke-PD-anmu. Kau begitu percaya dengan
tauhidmu, dengan sabda-sabda Tuhanmu, janji-janji Tuhanmu. Pertemuan-pertemuan
yang dijanjikan. Disini di atas nisanmu aku ingin melepasmu selama-lamanya,
selamat jalan sayang….. semoga engkau merestui pilihanku ini. Maaf karena aku
tak bisa menjadi ikan layang-layang dalam cerita Karen White, Bukan karena aku
anti cintamu tapi justru menolong cinta kita, bukan ingin membasmi cinta tapi
ingin menyuburkan cinta kita, hanya dalam hatiku. Hanya menjadi milikku
seutuhnya.
Hmmpf...semoga Allah memberikan cinta yang indah untukmu atas kesabaranmu kawan...
BalasHapusBukan, bukan untuk menggantikannya yg telah pergi..karena memang kenangan itu tak kan mampu tergantikan, melainkan untuk menyempurnakan cintamu yang sempat terjeda oleh ruang dan waktu.
Semangaatt...:D
Aneh ada laki-laki yang bisa merangkai kata-kata seperti ini.. Karena kata-kata yang keluar dari jemari saya jauh dari ini (sebenernya ngiri, hoho)
BalasHapusKeep romantic dah pak :D
terima kasih buat Nick Salsabiila dan herriyati Bastari atas apresiasinya
BalasHapusalur cerita yang bagus, sebagai masukan (mungkin juga salah) dalam cerpen ini terlalu mengagungkan cinta terhadap makhluk
BalasHapus